Follow Us @soratemplates

Wednesday, November 14, 2018

Fantastic Beasts : The Crimes Of Grindelwald

November 14, 2018 0 Comments





Yap, sebagai seseorang yang sangat menanti rilisnya film Warner Bross ini aku akhirnya menonton di hari pertama. Seperti judulnya, film ini merupakan sekuel kedua dari Fantastic Beasts : Where to Find Them. Untuk cast pemain sendiri tidak memiliki banyak perubahan dari seri sebelumnya.

Namun kali ini yang menjadi tokoh sentral, sama seperti judulnya, adalah Gellert Grindelwald ( Johny Depp ). Yang dalam akhir film sebelumnya telah ditangkap oleh Newt ( Eddie Redmeyne ) dan dipenjara di Kementrian Sihir Amerika Serikat. 

Aku di sini nggak akan memaparkan tentang baik buruk film ini, akan sangat tidak subjektif pada akhirnya. Karena sejak awal memang aku sudah menyukai dan menunggu film ini. 

Spoiler Alert

Film dibuka dengan setting New York pada tahun 1927, di mana saat itu Grindelwald sedang dalam penjara Kementrian Sihir Amerika Serikat dan akan dipindahkan ke Eropa. Namun dalam perjalanan, ia berhasil melarikan diri dengan bantuan salah satu pegawai kementrian yang telah menjadi pengikutnya.

Sementara di London, Newt sedang mengajukan gugatan agar ia bisa bepergian ke luar negeri. Di sini, akan muncul kakak Newt, Theseus ( Callum Turner ) dan Lesta Lestrage ( Zoe Kravits  ), tunangannya. 

Tak berselang lama konflik mulai muncul, yakni ketika Albus Dumbledore ( Jude Law ) menemui Newt, dan menyuruhnya menuju Paris, di mana Credence ( Ezra Miller ) dan Tina Goldstein ( Katherine Waterston ) berada. Dan menunjukan alamat rumah Nichola Flamel untuk menjadi tempat perlindungan yang aman.

Singkat cerita, Newt menuju Paris bersama Jacob ( Dan Fogler ) untuk mencari Credence, Tina dan Queeny ( Alison Sudol ). Di suatu sirkus, Tina malah menjumpai Credence dan Nagini ( Claudia Kim ), seorang maledictus yang nantinya menjadi salah satu hocrux dari Voldemort.

Grindelwald sendiri menyusun rencana bersama para pengikutnya, untuk menjebak Newt, teman-temannya serta para pegawai Kementrian Sihir Inggris agar hadir di suatu perkumpulan besar di makam keluarga Lestrage. Di sinilah terjadi pertempuran besar di mana Grindelwald menyalakan api biru di tengah-tengah aula pertemuan. Lesta melawan dan mengorbankan dirinya agar kawan-kawannya bisa keluar dengan selamat.

Dan pada akhir kisah ini, kita akan tahu alasan mengapa Dumbledore tidak mau dan tidak bisa melawan Grindelwald walaupun sejahat apapun ia. Sedangkan Grindelwald bersama Queeni, menjelaskan fakta mengejutkan tentang jati diri Credence.

Alur dan Tokoh
Alur ceritanya terkesan lambat dan tidak terlalu memiliki konflik yang berarti, tapi terasa terburu-buru dalam memunculkan kejutan dari beberapa misterinya. Namun, adegan hewan-hewan aneh yang dimiliki dan akan ditangkap Newt tetap memiliki daya tarik tersendiri. 

Unsur komedi juga disisipkan, walau memang tidak terlalu banyak. Tapi terasa cukup porsinya, sehingga membuat kita tidak merasa bosan.

Keberadaan Jude Law ( Dumbeldore ) memang cukup menambah warna dan rasa penasaran akan asal usul hubungannya dengan Grindelwald. Namun ia tidak terlalu memiliki porsi yang banyak, ia terkesan hanya sebagai pengantar dan penunjuk bagi Newt.

Johny Depp ( Grindelwald ) seperti biasa dalam setiap tokoh yang ia mainkan, diperankan secara apik dan cocok. Ia belum menampilkan sosok antagonis dengan kepribadian yang amat jahat, namun ia menampilkan Grindelwald sebagai seorang yang cerdik dan memiliki pemikiran serta rencana yang matang.

Dan hubungan percintaan juga turut sedikit mewarnai cerita ini, yakni dengan 3 pasangan. Newt & Tina, Jacob & Queeny, Thesseus & Lesta Lestrage. 

Penutup
Kesimpulan setelah menonton film ini, seperti layaknya film-film seri lainnya, seri kedua ini memang sekiranya menjadi seri pembuka bagi film-film selanjutnya.

Masih sangat banyak misteri yang belum terkuak, dan sepertinya J.K. Rowling pun masih akan membuat kisah ini menjadi makin panjang, dengan menjelaskan banyak sekali misteri. Misalnya saja tentang siapa sebenarnya Credence, bagaimana akhir kisah dari Grindelwald, ataupun misteri tentang Nagini, kenapa ia malah menjadi salah satu ular peliharaan Valdemort.

Keseluruhan film ini, cukup menghibur walaupun tidak terlalu memuaskan bagiku dari sisi jalan ceritanya yang masih terlalu menggantung dan tak memiliki konflik berarti. Namun, memang kembali lagi, ini adalah seri pembuka jadi memang layaknya seperti itu hanya sebagai pengantar cerita menuju konflik yang sebenarnya entah nantinya di seri yang keberapa.

Jadi, wahai para penggemar atau malah para Potterhead yang berpindah ke film ini, bersabarlah beberapa tahun lagi menunggu seri-seri selanjutnya.

Friday, November 9, 2018

[ Review ] Laut Bercerita

November 09, 2018 0 Comments



“Dan yang paling berat bagi semua orangtua dan keluarga aktivis yang hilang adalah: insomnia dan ketidakpastian. Kedua orang tuaku tak pernah lagi tidur dan sukar makan karena selalu menanti “Mas Laut muncul di depan pintu dan akan lebih enak makan bersama”. – Asmara Jati (p. 245)

Awal tahun ini, saya melihat banyak sekali review tentang buku ini di beberapa akun IG. Dari situlah saya mulai penasaran. Namun baru bisa mendekap buku ini di bulan Maret.

Bagi para penikmat sastra, mungkin sudah tak asing lagi dengan beliau, Leila S. Chudori, penulis buku ini. Ini juga menjadi daya tarik lain selain dari review-review di IG.

Saat membuka halaman novel ini kalian akan dibawa dan dipaksa masuk dan kembali ke masa-masa menjelang reformasi. Masa-masa kisruh negeri ini. Dan saya jamin, setelah selesai membaca, kalian akan merasakan sesak di dada. Membayangkan apa yang pernah terjadi dan menjadi jalan hidup orang-orang yang sampai sekarang kabar ataupun jasadnya tak ditemukan.

Biru Laut, tokoh sentral dalam novel ini, adalah seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Bersama kawan-kawannya ia mengikuti suatu organisasi yang ke depannya dianggap mengancam di masa Orde Baru. Seperti halnya mahasiswa pada zaman itu, Laut punya rasa ingin tahu dan jiwa juang yang luar biasa. 

Hingga ia dan kawan-kawannya ikut dalam daftar nama orang-orang yang dicurigai dan pada akhirnya diculik. Pada titik inilah, ia tahu bahwa kadang teman bukanlah teman. Orang yang ia percaya ternyata malah merupakan orang yang mengintai hidupnya.

Laut punya kesempatan untuk berhenti dari segala hirup pikuk itu sebenarnya, sebelum ia diculik. Namun jiwanya tak mengizinkannya untuk berhenti. Hingga ia akhirnya dipenjara, disiksa. Teman-temannya sebagian dibunuh.

Tapi pada akhirnya Laut pun bertemu laut. Keluarganya, kekasihnya, kawan-kawannya bertanya-tanya di mana ia. Dibunuh tak ada mayat, dilepaskan ia tak jua pulang. Saat membaca bagian di mana ayah ibunya tetap berperilaku seperti Laut masih ada di sekitar mereka, seketika itu membuat rasa nyeri di dada.

Leila mencoba untuk menggambarkan secara nyata dalam karyanya ini, bahwa betapa sakit dan menderitanya ketika kita tak tahu bagaimana kabar mereka. Novel ini sendiri ia dedikasikan untuk para aktivis yang diculik, yang kembali dan yang tak akan kembali. Menggambarkan keluarga yang sampai detik ini menunggu kejelasan nasib orang-orang yang mereka cintai.

"Kami percaya pada kedalaman dan kesunyian laut, dan kami percaya pada terangnya matahari.

Kami juga percaya Mas Laut, Mas Gala, Sunu, Kinanti dan kawan-kawan yang lain akan lahir berkali-kali” 
( Hal. 373 )


Sunday, October 14, 2018

Weekend di Kota Tua

October 14, 2018 0 Comments
Hallo semua....

Nah, kali ini saya akan menceritakan tentang liburan saya ke Kota Tua, Jakarta. Mungkin untuk kebanyakan orang di Jakarta dan sekitarnya tempat ini bukanlah tempat yang baru untuk dikunjungi. Tapi, berhubung saya adalah anak desa yang baru pindahan ke kota jadi harap maklum kalau lumayan alay.

Saya berangkat dari stasiun Tangerang sekitar jam setengah 3 sore. Langsung naik kereta, dan turun di Stasiun Duri. Nah, di sini ini yang lumayan bikin sabar banget yah. Nunggu kereta tujuan Kampung Bandan. Di sini saya nunggu hampir satu jam. Katanya sih ini udah jadi hal yang lumrah. Tapi, karena saya yang biasa di kampung pakai alat transportasi pribasi dan hampir tidak pernah naik angkutan umum, ngantri gini bikin bosen juga.

Dan kereta yang ditunggu pun datang....
Alhamdulillah yahhh... 

Dan cuaca saat ini lumayan mendung dan gerimis.
Setelah sampai di Stasiun Kampung Bandan, saya ganti kereta lagi yang jurusan Stasiun Jakarta Kota.

Ini sebenernya deket banget loh. Naik kereta paling berapa menit sudah sampai.
Nah di Stasiun Jakarta Kota ini lumayan luas tempatnya. Ada banyak gerai makanan yang bisa anda kunjungi. Juga beberapa mini market.

Dari Stasiun kita keluar dan untuk ke Kota Tua kita cuma perlu jalan kaki paling 10-15 menit. Tergantung anda, apakah mau langsung sampai atau tergiur dengan banyaknya penjaja cenderamata dan aneka makanan minuman di sepanjang jalan.

Saya sampai di tujuan sudah sekitar pukul 17:30, lumayan sore. Dan cuaca masih sedikit mendung dan gerimis. Tapi ini tidak menyurutkan animo masyarakat untuk berkunjung, buktinya saja ketika saya masuk sudah ada begitu banyak orang dari segala usia. Ada yang bersama keluarga, pacar dan teman. Di sini kamu akan disambut oleh gedung-gedung tinggi yang sebagian dialihfungsikan sebagai museum.

Kawasan Kota Tua ini memiliki luas sekitar 1,3 kilometer persegi. Dulunya merupakan sebuah pusat pemukiman dan perdagangan di Asia sekitar abad ke 16. Oleh karena sejarahnya, pada tahun 1972 Gubernur Jakarta Ali Sadikin mengeluarkan dekrit resmi yang isinya menjadikan kawasan Kota Tua sebagai situs warisan budaya. Dengan tujuan untuk melindungi dan melestarikan bangunan bersejarah yang ada di kota tersebut.

Di sini anda bisa mengunjungi beberapa museum bersejarah. Diantaranya
  • Museum Wayang
  • Museum Fattahillah
  • Museum Bank Indonesia
  • Museum Nasional
  • Pelabuhan Sunda Kelapa

Berhubung saya sampai di sini sudah lumayan sore, jadi museum tersebut sudah tutup. Mungkin lain waktu saya akan berkunjung lagi ke sini.

Namun jangan khawatir, tempat ini tetap mempesona walaupun musem susah tutup. Malah di sore hari seperti ini kondisi cenderung ramai dan akan makin ramai di malam hari. Bagi anda pencari spot foto yang instagramable, di sini saya pastikan akan membuat anda senang.

Anda bisa menyewa dan berfoto cantik dengan menggunakan sepeda ontel dan topi lebar warna warni.

Juga bisa berfoto dipinggiran, atau di tengah luasnya halaman dengan dilatarbelakangi oleh bangunan-bangunan berarsitektur lawas yang menjulang tinggi. Atau kalau anda cukup kreatif dan pintar mengambil gambar, anda bisa mengambil foto di sekitar lampu yang di tanam di pinggiran Museum Wayang. Atau berfoto di bawah lampu-lampu cantik yang ada di beberapa titik.
Anda juga bisa mencoba kuliner di cafe Batavia

Dan berhubung cuaca makin tidak mendukung, jadi saya pulang sekitar pukul 20:00 WIB dengan membawa rasa penasaran karena belum bisa masuk dan melihat museum-museum bersejarah tersebut. Lain waktu, saya akan ke sini lagi dan eksplore semuanya.

Demikian perjalanan libur saya kali ini.... 

Thursday, August 30, 2018

[ Review ] Deessert

August 30, 2018 0 Comments


Penulis : Elsa Puspita
Penerbit : Mizan Group
Tahun terbit : 2016
ISBN : 9786022911210

" Bagaimana kau mengatakan tak lagi mencintainya? Jika berpaling dari menatapnya saja kau tak mampu?
Jika berhenti memikirkannya saja kau tak bisa? Jika menahan diri untuk tak memeluknya saja kau seberusaha itu? Jika melepasnya saja kau tak mampu? "

Mungkin seperti itulah kira-kira apa yang terjadi pada dua tokoh utama dalam novel ini. Bagi Naya, seorang pembawa acara kuliner di sebuah stasiun tv di Jakarta, ia sudah sangat membenci dan tak lagi cinta pada mantan kekasihnya. Dan bagi Sadewa, seorang pastry chef dan juga mantan kekasih Naya, diselingkuhi membuat hatinya babak belur tak terkira.

Awalnya, mereka adalah sepasang kekasih yang saling mengerti satu sama lain. Hingga satu waktu Dewa akhirnya melanjutkan studynya ke Australia. Yang kemudian berujung pada kandasnya hubungan dua sejoli ini.

Bertahun-tahun kemudian, saat di mana masing-masing merasa semuanya sudah selesai takdir mempertemukan mereka kembali. Naya dan Dewa kembali pulang ke kampung halaman mereka, Palembang, dengan waktu hampir berdekatan.

Dari sini kita akan melihat, bahwa kisah mereka jauh dari kata usai. Semua seperti kembali ke titik awal di mana hubungan mereka berakhir tak jelas bagi Naya, namun tidak dengan Dewa yang merasa dikhianati oleh Naya.

Garis besar yang saya lihat dari kisah ini adalah penulis ingin menunjukan bahwasanya komunikasi sangat penting dalang sebuah hubungan. Apalagi dalam hubungan LDR macam tokoh-tokoh ini.

Membaca buku ini, kita akan dibuat greget dengan tingkah laku keduanya. Yang sok sokan sudah tak cinta, namun dalam lubuk hatinya jelas memendam rindu mendalam
Kisah ini terasa ringan dan menghibur untuk dibaca. Alur cerita dan gaya bahasanya juga enak untuk dinikmati.
Apalagi dengan tema klasik yang diangkat, yakni cinta pertama yang tak kunjung usai. Buku ini jelas menjanjikan hiburan yang indah dan menyenangkan.

Thursday, August 23, 2018

[ Review ] Aroma Karsa : Misteri Puspa Karsa dan " kutukan " olfaktori

August 23, 2018 0 Comments


Judul : Aroma Karsa
Penulis : Dee Lestari ( Dewi Lestari )
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : Maret 2018
ISBN : 978-602-291-463-1

" Penciuman adalah jendela pertama manusia mengenal dunia. Manusia lebih mudah dipengaruhi oleh yang tidak terlihat "
( Hal. 153 )

Sekitar akhir bulan November 2017 Ibu Suri memosting di laman akun Instagram pribadinya akan lahirnya "anak" yang sedang ia "kandung". Bahwa draf pertama dan segala macam risetnya telah rampung. Waktu membacanya saya luar biasa antusias. Terlebih dengan judulnya Aroma Karsa. Karsa sendiri memiliki arti kehendak. Jadi Aroma Karsa adalah kehendak aroma.

Aroma Karsa sendiri di awal kemunculannya memang sudah sangat dinanti oleh penggemar tulisan Dee. Sebelum terbit dalam bentuk buku seutuhnya, "anak" ini telah terlebih dahulu terbit secara bersambung di salah satu platform media online di Januari 2018. Cukup menggiurkan memang, tapi bagi saya yang lebih suka mengoleksi buku secara fisik, harus menunggu sampai medio Maret 2018.

Kisah ini berawal dari kotak besi kuno yang dicuri oleh Janirah Prayagung dari lemari di lingkungan Keraton Yogyakarta. Yang ternyata berisi sebuah lontar kuno dan tiga tube perunggu kecil berisi cairan kental. Lontar ini bercerita tentang Mahesa Guning dan Puspa Karsa, sekaligus khasiat dari cairan dalam tube tersebut. Yang pada akhirnya satu tube itu digunakan Janirah, dan benar mengubah jalan hidupnya. Dan diakhir hidupnya, ia berwasiat pada Raras Prayagung untuk menemukan di mana sebenarnya Puspa Karsa tersebut. Puspa Karsa konon adalah bunga yang memiliki kekuatan yang maha dahsyat, yang belum diketahui wujudnya, baunya bahkan keberadaannya pun antara mitos dan fakta. Karena memang tak pernah ada yang melihatnya.

Babak cerita dalam novel ini akan berpusat pada tokoh Jati Wesi, yang memiliki kemampuan penciuman yang luar biasa. Yang pada akhirnya akan terjebak pada ambisi seorang Raras Prayagung untuk menemukan di mana dan seperti apa sebenarnya Puspa Karsa. Jati akan didampingi oleh tokoh-tokoh kuat macam Tanaya Suma, putri Raras.

Dee sendiri menggambarkan dengan sangat baik berbagai macam detail dalam novel ini. Seperti halnya tentang pembuatan parfum dan misteri yang menyelimuti Puspa Karsa. Menggabungkannya dengan cerita sejarah, dan candi peninggalan Majapahit di kaki gunung Lawu. Pada akhirnya, novel ini sebenarnya membawa kita untuk bertanya siapa, apa dan bagaimana. Bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya Anung? Serta jati diri sebenarnya Jati Wesi. Tak lupa jua, Puspa Karsa itu sendiri.

Dengan total halaman mencapai 724, novel ini memang terlihat terlalu tebal untuk ukuran buku fiksi. Tapi yakinlah, jika kalian sudah membukanya, niscaya akan sangat sulit untuk berhenti. Kehebatan Dee dalam mengolah alur cerita yang maju-mundur, misteri-misteri yang menyelimuti akan membuat rasa penasaran kita menguar. Buku ini layaknya magnet yang membuat kita enggan beranjak.

Singkat saja, kesimpulannya novel ini sangat worth it untuk dinikmati.


Wednesday, June 27, 2018

Menengok kembali Candi Plaosan

June 27, 2018 0 Comments
Malam itu, beberapa hari sebelum mudik lebaran mas suamik tiba-tiba bilang bahwa akan mengajak saya ke Jogja di H+2. Saya lumayan kaget. Karena nggak tahu bahwa akan diajak ke sana, apalagi saat lebaran. Sampai saya sendiri tanya, " kok tumben, aku kan nggak minta." Dan jawabannya sungguh membuat saya senyum-senyum gaje, " ya kamu sih nggak minta langsung. Tapi ngodenya kan nggak tahu dari kapan, tiap buka IG slalu aja bilang kapan ke sana lagi. Aku kan pengertian." Dan yang saya tahu, saya sangat bersyukur karena punya beliau yang selalu ngerti apa mau istrinya,hehehe...

Sebenarnya saya sudah pernah juga ke Plaosan, yakni sekitar awal tahun 2017 lalu. Namun ketertarikan saya datang ke sini sudah ada sejak beberapa tahun lalu ketika saya tidak sengaja melihat postingan foto salah seorang kakak kelas saya semasa SMA yang kebetulan juga melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Waktu itu entah tahun berapa yang seingat saya, mungkin sekitaran tahun 2010an. Yang ada dalam benak saya, ini mbaknya foto di candi apa sih kok cantik banget. Padahal, mbaknya ini foto sama sekali nggak kelihatan candi utamanya.

Saya ke sini pada hari kedua kunjungan saya ke Yogja. Niatnya sih pengin lihat sunrise dan ngambil foto Candi Plaosan saat matahari baru nongol. Tapi apa daya, ternyata saya bangunnya kesiangan. Jadi kami baru jalan dari hotel sekitar pukul setengah 6, itu pun mampir ke Malioboro dulu. Dikiranya masih sepi buat foto, eh ya ternyata yang kepikiran gitu kan bukan kita doang. Udah ramai ternyata. Jadi ya sudah, langsung menuju ke Plaosan saja.

Walaupun agak siang, tapi lumayanlah. Kita bisa dapat foto Candi Plaosan seperti itu. Tetap terasa syahdu, dan sejuk. Apalagi suasana masih sepi sekali pagi hari itu.

Candi Plaosan sendiri walaupun letak geografisnya dekat dengan Yogyakarta, namun sebenarnya sudah masuk wilayah Jawa Tengah, yakni di Jl. Candi Plaosan, Plaosan Lor, Bugisan, Kec. Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Atau sekitar 1,5 km ke arah timur dari Candi Sewu. Untuk memasuki kawasan candi, pengunjung akan dikenai tiket masuk sebesar 3.000 rupiah/orang dan mengisi buku tamu. Bagi pengunjung yang membawa kendaraan bisa diparkir pada tempat parkir umum yang ada di halaman rumah masyarakat sekitar candi. Waktu kemarin saya ke sana harga parkir 2.000 rupiah.

Candi Plaosan merupakan candi Budha yang didirikan pada abad ke-9 M pada masa pemerintahan raja Rakai Pikatan. Menurut prasasti Cri Kahulunan ( 842 M ), candi ini didirikan oleh Ratu Sri Kahulunan dengan dukungan suaminya. Sri Kahulunan sendiri merupakan gelar bagi Pramodyawardhani, putri raja Samarratungga yang menikah dengan Rakai Pikatan.

Konon candi ini merupakan perwujudan dari indahnya toleransi perbedaan agama dan ideologi antara Rakai Pikatan dan Pramodyawardhani. Seperti yang kita ketahui, Rakai Pikatan sendiri berasal dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu. Dan Pramodyawardhani berasal dari Wangsa Syailendra yang beragama Budha. Namun, perbedaan tersebut tidaklah menjadi halangan untuk memersatukan dua insan ini.

Baik saat dulu pertama kali datang ke sini, atau sekarang setiap kali yang saya rasakan ketika memasuki kawasan candi adalah rasa takjub. Apalagi jika cuaca sedang cerah, dengan hembusan angin sejuk yang menyapa tubuh kita. Rasanya benar-benar tenang.

Saat kita memasuki area candi, kita akan disambut oleh sepasang candi Dwarapala. Baik di pintu utara maupun selatan. Dwarapala sendiri dalam bahasa Sansekerta berarti penjaga pintu.

Pada masing-masing candi utama di Plaosan Lor ini terdapat arca Dhyani Bodhisatwa, Bodhisatwa  sendiri dalam kepercayaan Buddha dipercaya sebagai mahluk yang memiliki sifat kasih sayang dan mendedikasikan hidupnya untuk kebahagian semua mahluk di dunia.

Saat saya berkunjung kemarin di halaman bagian utara candi utama sepertinya juga sedang dilakukan rekonstruksi candi. Karena saya lihat ada beberapa bagian reruntuhan candi yang coba disatukan bak puzzle.

Di candi ini juga tiap tahunnya pemerintah kabupaten Klaten mengadakan Festival Candi Kembar. Festival ini sendiri pertama kali diadakan pada tahun 2016. Diharapkan dengan adanya festival ini, bisa membuat
kesenian lokal atau karya budaya apa pun yang terdapat di wilayah Bugisan kembali terangkat, desa wisata semakin hidup, kunjungan wisata semakin meningkat sehingga berdampak pula bagi kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan Candi Plaosan.

Jadi bagi teman-teman yang berkunjung ke daerah Yogyakarta dan sekitarnya tidak ada salahnya untuk mampir ke kompleks percandian ini. Apalagi jaraknya yang lumayan dekat dari Prambanan. Anda juga bisa hunting foto-foto cantik saat sunrise atau sunset. Dijamin nggak bakal nyesel. Tentunya jika cuaca juga mendukung.







Thursday, March 22, 2018

Minggu di TMII

March 22, 2018 0 Comments
Dibandingkan liburan ke pantai atau wahana rekreasi seperti taman bermain, tempat-tempat seperti museum malah lebih menarik untuk saya. Nggak tahu kenapa yah, mungkin karena dari sewaktu kecil dulu sering diajak ke tempat seperti itu oleh Ibuk. Dengan pekerjaan Ibuk yang adalah seorang guru di SMP dekat rumah kami, dulu memang sewaktu masih kecil sering diajak berdarmawisat ke tempat-tempat bersejarah, terutama di daerah Yogyakarta.

Dan anehnya kebiasaan itu malah membuat saya sekarang lebih tertarik ke tempat seperti itu, mungkin juga karena tumbuh besar di daerah pesisir juga menjadi salah satu sebab saya tidak terlalu suka dengan pantai. Agak sedikit bosan kayaknya yah.

Okey, weekend kemarin saya akhirnya yah diajak berkunjung ke TMII oleh mas suami. Ini adalah kunjungan pertama kali saya ke sini. Agak lebay memang, tapi toh setiap orang pasti punya momen pertama dalam setiap langkah hidupnya.

Nah, saya berangkat dari Cikupa sekitar pukul 9 pagi. Lumayan siang yah, dan untungnya jalanan tidak terlalu macet. Sampai di sana sekitar pukul 11;30 siang. Dan suasana sudah ramai, maklum long weekend. Untuk harga tiketnya sendiri per individu sebesar Rp 15.000,- sedangkan apabila Anda membawa kendaraan ada tarif tersendiri yakni
    • Mobil sebesar Rp 15.000,-
    • Bus/Truk sebesar Rp 35.000,-
    • Motor sebesar Rp 10.000,-
    • Sepeda sebesar Rp 1.000,-
Untuk jam operasional pintu masuk TMII sendiri adalah pukul 07:00-22:00 WIB. Untuk areanya sendiri dibagi menjadi beberapa kategori. Diantaranya anjungan, museum, flora fauna, rekreasi dan rumah ibadah.

Karena waktu saya hanya setengah hari, jadi memang tidak terlalu banyak tempat yang saya singgahi. Hanya beberapa saja, dan untungnya saya membawa kendaraan pribadi jadi lumayan menghemat tenaga dan biaya juga. Karena area TMII ini lumayan luas, jadi apabila jalan kaki pasti dijamin capek banget. Namun jangan khawatir karena di TMII sendiri ada beberapa pilihan bagi yang tiddak membawa kendaraan sendiri. Misalnya saja kereta dan bus wisata.

Anjungan Daerah

Anjungan daerah sendiri merupakan bangunan-bangunan rumah adat berciri masing-masing daerah provinsi di Indonesia. Biasanya di masing-masing anjungan diadakan pertunjukan kesenian sesuai dengan kesenian khas daerah masing-masing. Ada beberapa anjungan yang memiliki kalender tahunan untuk pertunjukan seni, salah satunya yang saya saksikan di anjungan DIY. Di sini sewaktu saya masuk sedang diadakan pagelaran ketoprak Mataram.











Museum

Dan untuk bagian museum sendiri, TMII memiliki sekitar 19 museum, diantaranya
  • Museum Indonesia
  • Museum transportasi
  • Museum Penerangan
  • Museum Minyak dan Gas Bumi
  • Museum Perangko
  • Museum Olahraga
  • Museum Listrik dan Energi Baru
  • Museum Purna Bhakti Pertiwi
  • Museum Keprajuritan Indonesia
  • Museum Pusaka
  • Museum Telekomunikasi
  • Museum Bayt Al-Qur'an 
  • Museum Asmat
  • Museum Timor Timur
  • Museum Hakka Indonesia
  • Museum Serangga dan Taman Kupu
  • Museum Fauna dan Taman Reptil







Rekreasi

Untuk rekreasi sendiri ada beberapa pilihan. Kebetulan saya sama sekali tidak mencoba hiburan-hiburan tersebut. Hanya sekedar lewat dan melihat dari jauh saja. Rekreasinya diantaranya yakni teater keong emas, kereta gantung, snowbay waterpark, teater 4D, titihan samirono dan lain-lain. Bagi Anda yang mengajak serta buah hati, bisa Anda ajak ke Taman Anak-anak Indonesia. Dijamin mereka akan sangat betah dan senang di area ini dikarenakan banyaknya permainan.

Tempat Ibadah

Di area ini Anda bisa menemukan berbagai rumah ibadah dari agama-agama yang ada di Indonesia. Contohnya saja masjid, pura, gereja, wihara, dan klenteng. Ini juga menunjukan keragaman budaya dan agama yang ada di negeri ini.

Bagi Anda yang berniat untuk berkunjung ke sini, lebih baik datanglah lebih awal agar paling tidak banyak bagian dari kawasan ini yang bisa anda jelajahi. Dan apabila Anda membawa serta keluarga, membawa bekal sendiri mungkin merupakan pilihan yang baik juga, karena untuk area penjualan makanan hanya terpusat di beberapa titik saja. Sedangkan untuk anak-anak jaman now yang hobi mencari spot-spot instagramable, kawasan ini juga cukup kece loh untuk diexplore. Jadi sambil nyelam minum air juga, yakni bisa belajar keragaman budaya kita juga bisa sambil ambil foto-foto cantik untuk mempercantik feeds instagram kita.
tat