Follow Us @soratemplates

Friday, November 9, 2018

[ Review ] Laut Bercerita




“Dan yang paling berat bagi semua orangtua dan keluarga aktivis yang hilang adalah: insomnia dan ketidakpastian. Kedua orang tuaku tak pernah lagi tidur dan sukar makan karena selalu menanti “Mas Laut muncul di depan pintu dan akan lebih enak makan bersama”. – Asmara Jati (p. 245)

Awal tahun ini, saya melihat banyak sekali review tentang buku ini di beberapa akun IG. Dari situlah saya mulai penasaran. Namun baru bisa mendekap buku ini di bulan Maret.

Bagi para penikmat sastra, mungkin sudah tak asing lagi dengan beliau, Leila S. Chudori, penulis buku ini. Ini juga menjadi daya tarik lain selain dari review-review di IG.

Saat membuka halaman novel ini kalian akan dibawa dan dipaksa masuk dan kembali ke masa-masa menjelang reformasi. Masa-masa kisruh negeri ini. Dan saya jamin, setelah selesai membaca, kalian akan merasakan sesak di dada. Membayangkan apa yang pernah terjadi dan menjadi jalan hidup orang-orang yang sampai sekarang kabar ataupun jasadnya tak ditemukan.

Biru Laut, tokoh sentral dalam novel ini, adalah seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Bersama kawan-kawannya ia mengikuti suatu organisasi yang ke depannya dianggap mengancam di masa Orde Baru. Seperti halnya mahasiswa pada zaman itu, Laut punya rasa ingin tahu dan jiwa juang yang luar biasa. 

Hingga ia dan kawan-kawannya ikut dalam daftar nama orang-orang yang dicurigai dan pada akhirnya diculik. Pada titik inilah, ia tahu bahwa kadang teman bukanlah teman. Orang yang ia percaya ternyata malah merupakan orang yang mengintai hidupnya.

Laut punya kesempatan untuk berhenti dari segala hirup pikuk itu sebenarnya, sebelum ia diculik. Namun jiwanya tak mengizinkannya untuk berhenti. Hingga ia akhirnya dipenjara, disiksa. Teman-temannya sebagian dibunuh.

Tapi pada akhirnya Laut pun bertemu laut. Keluarganya, kekasihnya, kawan-kawannya bertanya-tanya di mana ia. Dibunuh tak ada mayat, dilepaskan ia tak jua pulang. Saat membaca bagian di mana ayah ibunya tetap berperilaku seperti Laut masih ada di sekitar mereka, seketika itu membuat rasa nyeri di dada.

Leila mencoba untuk menggambarkan secara nyata dalam karyanya ini, bahwa betapa sakit dan menderitanya ketika kita tak tahu bagaimana kabar mereka. Novel ini sendiri ia dedikasikan untuk para aktivis yang diculik, yang kembali dan yang tak akan kembali. Menggambarkan keluarga yang sampai detik ini menunggu kejelasan nasib orang-orang yang mereka cintai.

"Kami percaya pada kedalaman dan kesunyian laut, dan kami percaya pada terangnya matahari.

Kami juga percaya Mas Laut, Mas Gala, Sunu, Kinanti dan kawan-kawan yang lain akan lahir berkali-kali” 
( Hal. 373 )


No comments:

Post a Comment

tat